Berlian Santosa*

Melihat hujan dari lantai 5 tempat flat yang kusewa ini, membuat sensasi yang berbeda. Padahal setiap penghujung tahun hujan pasti turun di Townsville, kota kecil di selatan negara Hitler ini.

Hujan turun dengan derasnya. Orang-orang lebih senang membunuh waktunya di rumah, termasuk aku. Ini adalah waktu yang tepat untuk menyetel lagu dari OST Harry Potter “Firework”, yang kusewa di mini market kepunyaan Nyigem She, gadis Vietnam yang tomboy itu, setelah habis keramas berbasah-basah menembus badai di luar meninggalkan resto Camus tempat aku ambil part time. Lumayan, orang-orang Asia kere sepertiku “wajib” mencari tambahan asap dapur tanpa berharap penuh dari kiriman orangtua di tanah air.

Keasyikanku terusik oleh suara mengeong dari balik pintu flatku. Suara yang lebih mirip minta tolong berkali-kali, merintih-rintih tepatnya. Segera saja buku 8 Habits karangan Steven Covey, kulemparkan ke sofa. Aku beranjak mendekati pintu dan ketika kubuka, Oh God!...Aku mendapatkan seekor kucing malang nan kurus hadir dihadapanku. Kukira ini kucing tetangga yang tersesat. Saat kuangkat, aku mendapati luka dalam pada rusuk tangan kirinya. Ada nanah menetes di pergelanganku.

Ah, biarlah ia sejenak bersamaku, nanti kan kucari pemiliknya.

Dengan bekal jaket tebal, kembali aku harus menembus hujan lebat yang masih mengguyur, menuju mini market Nyigem.

Ketika aku sampai di depan kasir-setelah yakin bahwa semua keperluan seperti obat-obatan, dan wishkas ikan tuna- masuk dalam keranjang, Nyigem She heran dengan ketidakbiasaanku ini, tapi sesaat kemudian ia menyarankanku untuk kesembuhan kucingku ini.

“Ternyata banyak orang Asia menjadi makhluk sosial juga ya, ha..ha…”. Tawanya berderai.

“Cobalah pakai Chlorampenicol. Itu akan segera menyembuhkannya.”

Aku mengangguk dan mengucapkan terimakasih padanya. Kembali aku harus menembus hujan untuk sampai di flat. Aku menemukan anggoraku sedang tertunduk lemas. Kukira ia telah disakiti oleh anak SMP di ujung gang ini. Mereka terkenal bandel dan suka menyakiti binatang piaraan. Oh ya aku lupa belum memberinya nama. Ini saja, Squadron. Nama pesawat latih profeller di kesatuan sekolah tempat aku belajar.

Aku mengobatinya dan merasa ada teman untuk berbagi kasih sayang. Squadron mengeong lembut setelah luka kuobati dan wishkas yang kuberi lahap dihabisinya. Ia tertidur di pangkuanku. Kucing yang malang, pikirku.

Sudah seminggu Squadron di flatku. Ia tak mau beranjak jauh dariku. Namun ada saat-saat aku bekerja dan kuliah, ia kesepian. Dan berkatnya pula aku bisa terhubungkan dengan wanita yang lama ingin kukenal, tepatnya di seberang flatku ini disamping rumah loundry Margaretta. Ialah pemilik kucing itu setelah lama mencari Squadron.

“Oh Luna sayang, akhirnya kau kembali juga dalam pelukanku.” Katanya haru. “Aku mencari-carimu, Sayang.” Dibelainya bulu putih kucing montok itu.

Squadron tampak tak nyaman dipangkuan tuannya. Ia melengos ingin pergi, tapi Julia mendekapnya erat sedikit memaksa.

“Kau memberinya nama apa?” Tanya Julia padaku.

“Squadron,” kataku mantap. Julia tertawa. “Kau lihat, ini kan kucing perempuan.”

Squadron telah kembali dalam pangkuan pemiliknya. Cuma entah kenapa setelah kembali kepada Julia, Luna lebih terlihat murung dan cemas. Apa ia terkenang padaku selama sepekan ini? Mata kucing itu menatapku, berkilat, memaksaku agar aku tidak meninggalkannya begitu saja.

“Baiklah Julia. Aku pulang dulu. Jaga Squadron eh Luna ya. Jangan pernah anak-anak nakal itu menyakitinya lagi.” Hanya Julia yang mengantarku ke muka pintu, sementara Luna telah masuk kerangkeng rumahnya. Kasihan juga, pikirku.

Entah kenapa setiap aku mampir belanja di Toko Nyigem, gadis tomboy itu sering menatap tak senang padaku. Setelah perkenalanku dengan gadis Jerman, Julia, yang anggun dan mempesona serta suka memintaku datang mencicipi masakannya, aku mendapatkan Nyigem sering menghindar bertatap denganku. Entahlah, cemburukah ia? Marahkah ia padaku?

Sebenarnya Julia tak pintar-pintar amat memasak. Walau skill ku meramu dan memasak masakan Eropa lebih nikmat darinya, namun karena pesona Julia aku, aku tersirap oleh penyajiannya yang berbeda. Ia pintar dan ramah, serta memiliki kepercayaan diri yang tinggi. Berbeda dengan gadis Jerman lain yang kutemui, ras Arya yang sombong dan tak ingin berakrab dengan pelajar Asia.

Hari itu Julia mengundangku untuk menyantap masakannya yang biasa tapi berbeda menurutnya.

“Ini sensasi.” Lagi-lagi ia meyakinkanku. “Chef di Camus, tak kan mampu membuatnya”. Begitu kalimat dalam smsnya. Aku tersenyum. “Jam 2 kau akan kutelepon lagi,” tandasnya.

Aku benar-benar menunggu undangan perjamuan itu. Julia sudah menyiapkan lagu penghantar kami makan dan sebagai penutupnya ia akan memutar sekeping DVD film Slumdog Millionare, pemenang Oscar itu. Tentu kami akan ditemani Squadron.

Satu potong pizza yang ditaburi irisan daging sapi, french cheese, paprika dan lada hitam aku lahap habis. Julia tersenyum sumringah. Pada tatapannya, Ia memberikan sinyal bahwa seorang chef Camus, ialah aku, tetap dapat dibuatnya terpana pada masakannya kali ini. Julia menikmati kemenangannya.

“Lezat sekali”. Komentarku ingin membuatnya terbang. “Kau bawa kijang dalam irisan daging ini ya?” Pujiku lagi.

“Ah ini resep rahasia. Tak kan kuceritakan padamu. Nanti kau tiru pula.” Senyumnya tambah mengembang.

“Baiklah kalau begitu. Boleh kan Squadron bergabung bersama kita? Mana dia?... Dari tadi tidak kelihatan?”. Mataku awas menyisir sudut ruang makan.

“Oalah… tuan Chef. Squadron sudah hadir dalam sayatan daging tipis di topping pizza yang baru saja kau santap habis itu. Enak kan?...”

“Jadi…?” Aku melongo. Memperhatikan satu porsi pizza yang tersisa diatas meja. “Kau benar-benar tidak melakukannya kan, Julia?” Perutku tiba-tiba terasa teraduk-aduk.

“Hmm…apalah artinya seeokor kucing.”

Aku langsung permisi segera ke kamar mandi. Dan seluruh isi pizza itu kumuntahkan. Perutku telah menelan Squadron yang malang.

Keluar dari kamar mandi aku langsung permisi pulang tanpa menatap Julia yang terbengong-bengong. Julia yang ingin kukenal, cantik dan mempesona, ternyata lebih mencintai seekor kucing dalam bentuk irisan daging tipis pada sepotong pizza!.

Kini kutahu kenapa Nyigem She tak simpatik padaku.

0 Read More
0 komentar: